Membuka kenangan bersama Matematika sebenarnya membuat saya mengingat masa lalu yang penuh warna-warni bak pelangi. Ada yang indah, sangat indah, tapi pernah juga sangat tersiksa. Naik dan turun layaknya roda kehidupan setiap manusia. Bersyukur apapun itu karena semuanya adalah suatu proses menuju agar kita lebih baik.
Jujur saja mengenal pelajaran Matematika waktu SD dan pelajaran ini begitu saya benci. Saking bencinya saya nggak mau sekolah kalau ada jadwal mata pelajaran ini. Saya akan pura-pura sakit perut ataupun pusing agar diizinkan istirahat dirumah sama ortu. Hahaha... Entahlah mengapa kecil-kecil saya sudah pintar bersandiwara, pantas saja jika anak saya yang umurnya belum genap 5 tahun sudah pintar bersandiwara didepan saya. Ternyata dia meniru bakat terpendam Emaknya.
Lanjut ceritanya... Nah setelah itu mulai deh sadar ortu saya, kok cuma hari-hari ini aja saya yang sakit tapi hari lainnya sembuh. Pun akhirnya kedok saya terbuka juga. Mau nggak mau saya masuk sekolah walaupun ada jadwal pelajaran Matematika dan menerima pelajaran ini dengan engap. Kelas 1-3 SD nilai Matematika saya hancur, paling bagus waktu itu nilai 50 dan sudah membuat saya bangga. Namun setelah itu, kelas 4-6 SD saya menjadi suka Matematika dibuktikan dengan nilai Matematika setiap kali ulangan selalu mendapatkan nilai 100, paling jelek nilai Matematika yang saya terima adalah 80.
Tau nggak sih kalian kalau pintar Matematika di zaman saya tuh sudah dapat predikat anak super pintar padahal nilai kesenian saya parah waktu itu apalagi pelajaran olahraga selalu gagal, gagal, dan gagal kalau disuruh lomba lari.
Di SMP saya jago banget Matematika saking jagonya saya diikutkan lomba olimpiade SAINS yang pesertanya campuran antara anak SMP dan SMA. Padahal waktu itu saya masih kelas 1 SMP dan bisa masuk 10 besar mengalahkan anak SMA. Nilai Matematika saya pun tak mengecewakan saat SMP dibuktikan saya bisa masuk SMA favorit di kota saya bermodalkan nilai Matematika. Masa-masa krusial saya amat sangat mencintai dan bersahabat dengan Matematika adalah 9 tahun. Mulai dari kelas 4 SD hingga kelas 3 SMA.
Bagaimana dengan Matematika saat kuliah?
Nah ini, walaupun saya masuk jurusan yang masih bersaudara dengan Matematika dan berbau-bau Matematika makin kesini saya makin nggak cinta lagi dengan yang namanya Matematika. Rasanya seperti salah jurusan setelah melalui setengah perjalanan kuliah di pilihan saya sendiri. Beda banget rasanya... Matematika tak seperti dulu lagi bagi saya. Matematika bukan sahabat saya lagi, ingin sekali saya mencintainya seperti dulu tapi tak bisa.
Kini setelah berkeluarga dan punya anak saya tak pernah lagi membuka Matematika. Saat ke toko buku untuk membeli beberapa buku untuk anak saya, saya melihat beberapa buku Matematika. Saat membuka lembaran-lembaran buku tersebut kepala saya langsung pusing, ada rumus Sin Cos Tan, ada turunan, integral, rumus bangun ruang, deret aritmatika, dan masih banyak lagi. Jujur, otak saya sudah tak mampu lagi untuk menghitung angka-angka tersebut.
Namun saya tetap berterima kasih kepada ilmu Matematika dan ilmu apapun yang sudah saya terima. Dari sini saya bisa menangkap pesan bahwa setiap orang akan merasakan lelah dengan sesuatu yang dia senangi dan menjadi sangat cinta kepada yang dia benci. Semoga saya bisa belajar lebih banyak lagi ilmu-ilmu lainnya terutama ilmu di kehidupan nyata untuk terus menjadi pribadi yang baik dan bermanfaat.
Salam,
Dwi Puspita
No comments:
Post a Comment
Yuk berkomentar :)