Suatu hari saya ajak ngobrol anak laki-laki saya setelah belajar ngaji. Saya iseng deh tanya-tanya ke dia, apakah dia suka ngaji. Dan... jawabannya adalah tidak. Kemudian saya lanjut lagi bertanya pada anak saya, apakah dia suka belajar. Dan... jawabannya lagi-lagi tidak. Jadi intinya anak saya tidak suka belajar baik itu mengaji, mengerjakan soal-soal ataupun yang berhubungan dengan buku. Hahaha... Jujur, saya kaget dan sempat bikin saya down. Tapi... kembali lagi, mereka adalah anak-anak polos yang sepenuhnya masih perlu bimbingan para orangtuanya.
Selain pergaulan hal pertama yang dicontoh si anak adalah orang tuanya atau orang terdekatnya yang merawatnya dari kecil hingga sekarang. Misal, anak tak suka membaca maka kita perhatikan dulu orang terdekatnya yang mengasuh si anak, apakah benar-benar suka membaca buku. Jika tidak, pantas jika si anak tidak suka membaca, mengaji ataupun belajar.
Jujur sih, saya memang tidak suka membaca buku jadi ini bukan kesalahan anak saya karena saya tidak bisa memberikan contoh yang baik padanya. Kegiatan saya selalu berhadapan dengan layar laptop maupun hape karena tuntutan pekerjaan. Kadang saya juga mikir, la wong saya saja seperti ini bagaimana dengan anak saya yang katanya si anak adalah peniru ulung orang tuanya.
Akhirnya setelah menghela nafas panjang, saya kembali bertanya pada anak saya tentang hobi atau kesukaannya. Ternyata anak saya suka lihat TV, main laptop, nonton YouTube, main bersama teman-teman, jalan-jalan, main lego, main sepak bola dan masih banyak lagi yang disebutkannya. Anak saya ingin seperti ayahnya yang jago main sepak bola. Memang sih, Ayahnya selalu mengajaknya ke lapangan saat sore hari di hari Minggu dan menunjukkan kehebatannya di depan sang anak. Mungkin karena hal inilah anak saya sangat tertarik bermain sepak bola.
MasyaAllah, sesederhana itu sebenarnya keinginan dan kesukaan anak-anak. Memang sih, semua kegiatan yang anak saya sebutkan semuanya tak jauh dari kegiatan saya sehingga si anak pun meniru kebiasaan yang "nyaman" tersebut. Kapan hari dia juga bercerita pada saya bahwa temannya bermain game ps3 dan mengajak teman-teman lainnya turut serta. Game ps3 ini banyak sekali pilihannya sehingga membuat bingung mau main yang mana dulu. Akhirnya teman-teman rebutan dan ada yang sampai menangis. Saya bertanya pada anak saya, apakah ikut juga bermain game pada waktu itu?
Karena di ajak oleh temannya jadinya anak saya pun ikut main game bersama. Banyak sekali game yang dimainkan pada waktu itu, sehingga lupa untuk pulang dan belajar. Mendengar jawaban jujur dan polos dari anak saya, saya hanya bisa memberikan nasehat kalau main dirumah orang jangan lama-lama dan harus sopan.
Ya sudahlah mau gimana lagi, toh semuanya sudah berlalu dan anak saya sudah jujur pada saya. Pastinya para orang tua tidak hanya saya, menginginkan anaknya tumbuh cerdas, bahagia dan sukses. Namun kembali lagi, anak bahagia pastinya akan menjadi anak yang sukses. Yuk kita sama-sama belajar lagi akan hal ini karena saya pun sama-sama belajar. Tidak hanya anak yang dituntut untuk belajar, namun orang tua juga harus sama-sama belajar bagaimana caranya agar anak tetap bahagia lahir batin tanpa ada paksaan.
Banyak cara kok sebenarnya, saya pribadi kadang mengikuti kelas parenting dan mengikuti berbagai kelas dari para psikolog maupun pakar tentang anak dan orang tua. Disana banyak sekali ilmu yang didapatkan terutama para orang tua yang kurang sabar dengan anak. Kita sama-sama belajar, pegang erat dan katakan kita bisa melakukannya untuk anak.
Salam,
Dwi Puspita
tak dapat dipungkiri memang anak2 akan mencontoh orang tuanya, begitu pun dengan hobi :)
ReplyDelete